ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5[ImagesOnly]

Style6

Dokter Teladan Yang Hobi Berorganisasi

Dr. Taufik Jamaan, SpOG.

Suasana ruang tunggu seorang dokter spesialis tidaklah heran kalau begitu banyak pasiennya, apalagi dia adalah seorang dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan yang cukup dikenal. Tidak henti-hentinya pasien yang berkunjung untuk memeriksa kandungannya, sehingga IDI News yang tadinya janji jam 14.00 sampai menunggu 1,5 jam baru dapat giliran untuk wawancara. Dia adalah Dr. Taufik Jamaan, SpOG yang lahir di Padang 46 tahun lalu ini telah menerima dengan senang hati IDINews di ruang prakteknya untuk wawancara.
Cita-cita merupakan suatu kebanggaan bagi setiap orang, apalagi cita-citanya didukung oleh kedua orangtuanya, begitu juga dengan Taufik nama panggilannya waktu itu baru lulus dari SMA 3 Padang, ingin meneruskan kepeguruan tinggi dengan memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Cita-cita menjadi dokter, ketika saya terinspirasi setelah lulus dari SMA, karena melihat figur seorang dokter sebagai pekerjaan yang sangat mulia, membantu orang sakit, tinggi martabatnya di mata masyarakat, baik itu dari status sosial, juga seorang profesional yang mandiri,” tutur Taufik.
Berkat ketekunan dan kesungguhannya, sehigga Taufik diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1985. Kemudian berangkat ke Jakarta dengan bekal seadanya. “Awalnya Saya di Jakarta tinggal di rumah kontrakan, kemudian pindah ke Asrama Universitas Indonesia di Jl Pegangsaan Jakarta Pusat,”  ujar Taufik.
Dokter yang hobbinya berorganisasi ini merasa senang tinggal di Asrama UI, karenanya banyak teman, terutama dengan para senior yang kebanyakan senang dengan organisasi. “Saya banyak belajar berorganisasi dengan senior, sehingga saya pernah dipilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa dan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam waktu itu,” tutur Taufik.
Tidak terasa sudah belajar di FKUI selama 6 tahun akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 1991 Taufik berhasil lulus dari FKUI. Kemudian Dokter yang dikaruniai tiga orang anak ini ditugaskan sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT) pada tahun 1992 di daerah Citiung Puskesmas Sungai Rumbai Sumatera Barat sampai tahun 1996. “Saya merasa bangga karena bertugas di Puskesmas Sungai Rumbai saya mendapatkan penghargaan sebagai Dokter Teladan Nasional,” ujar Mantan Sekretaris IDI Cabang Sumatera Barat ini.
Walaupun dulunya waktu mahasiswa, Taufik sering melakukan demo terhadap kebijakan pemerintah tetapi beliau tetap membawa nama baik Almamaternya yaitu salah satunya menjadi dokter teladan.
Ketika ditanya kenapa bisa mendapatkan penghargaan dokter teladan, Taufik beralasan, karena di Citiung adalah daerah desa tertinggal dan Taufik membuat perubahan terutama dalam hal posyandu, kebersihan, kesehatan Ibu dan Anak, imunisasi, KB, dll, “Waktu itu tahun 1995, saya diundang ke Istana Merdeka oleh presiden Soeharto untuk menerima penghargaan tersebut,” ujar Ketua Perhimpunan Obgin dan Ginekologi Indonesia (POGI) Cabang Jakarta Pusat ini.
Dengan mendapatkan penghargaan dokter teladan tersebut, salah satu hadiahnya adalah Taufik  diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tidak lama kemudian Taufik mengikuti pendidikan spesialis tahun 1996. “Saya memilih spesialis Kebidanan dan Kandungan, karena saya teringat saat bertugas di Daerah begitu banyak masalah kesehatan Ibu dan Anak, sehingga saya mengambil spesialis ini,” ujar Taufik.
Taufik berhasil mendapatkan gelar spesilais kebidanan dan kandungan  tahun 2000. Kemudian ditugaskan kembali ke daerah dan kembali ke Jakarta sebagai staf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2006.
Pada tahun 2006 itulah Taufik berniat pindah dari RSCM, dan secara otomatis status kepegawaiannya sebagai PNS dicopotnya, dan ketika ditanya, Taufik hanya beralasan karena ada sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan. “Saya pindah kerja ke Rumah Sakit Bunda Jakarta dan bekerja secara full time sampai saat ini,” ujar Bendahara Perkumpulan Fertilisasi In Vitro Indonesia (Perfitri) ini.

Pengalaman
Pengalaman yang menarik bagi Taufik sebagai dokter adalah sampai saat ini menangani masalah pasangan Suami dan Istri yang belum mempunyai anak. Menurut Taufik, apabila pasangan suami istri tersebut berhasil mendapat keturunan, inilah suatu kebanggan yang tidak bisa dinilaikan dengan uang. “Dilihat dari  kebehasilannya hanya  45%,” ujar Staf Pengajar Ultrasonik Indonesia ini.
Taufik juga mengakui, bahwa pasiennya yang datang ke tempat prakteknya dari rakyat biasa, pejabat, sampai ke artis dan bahkan beberapa pasien dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Hongkong dan Arab Saudi.
Masalah mengatur waktu, Taufik juga menyempatkan bagi keluarga waktu pagi hari dari membuat PR anak, memakai pakaian anak sampai mengantarkan ke sekolah. “Dua jam bagi saya untuk bertemu dengan anak-anak adalah sangat penting,” tutur Ketua Yayasan Penebitan IDI ini.

Target
Berbicara mengenai target ke depan, Taufik mengharapkan agar dapat menyelesaikan Program Doktornya (S3), targetnya tahun ini. Setelah itu akan memperbanyak menerbitkan buku dan lebih aktif lagi mengikuti organisasi profesi. “Sementara yang baru terbit buku saya adalah Panduan Praktis untuk Memiliki buah hati, Panduan Praktis Kehamilan Sehat, Panduan Praktis Persalinan dan Panduan Praktis untuk Mengetahui Penyakit Wanita,” ujar . dokter yang juga berpraktek di. RS. Hermina, Jatinegara  ini.
Saat ini juga Taufik banyak mengikuti berbagai organisasi profesi nasional maupun internasional walaupun dirinya sibuk, seperti  di Internasional sebagai anggota  International Society of Ultra Sound in Obstetric and Gynecology (ISUOG), anggota European Society of Human Reproduction and Embryologi (ESHRE), anggota American Society of Reproductive Medicine (ASRM), anggota Australasian Society of Ultrasound Medicine (ASUM) dan anggota Asia Pacific Initiative of Reproductive and Embryology (ASPIRE).
Selain itu juga Taufik mengikuti berbagai pendidikan berkelanjutan untuk menunjang pendidikan kedokterannya baik nasional maupun internasional, seperti mengikuti kursus Advanced Gynaecology Laparoscopic Surgery Course, National University of Singapore, Workshop on Cervical Ultrasound in Pregnancy, ISUOG, Melbourne, Australia, Workshop on Basic Anatomy and Advanced Laparoscopy Surgery, Kiel, Germany, dll.


Sensor Pengukur Tekanan Darah Di Pergelangan Tangan


Prevalensi hipertensi di Inggris sangat tinggi. Menurut data NHS, sepertiga penduduk Inggris memiliki hipertensi namun sebagian besar tidak menyadari kondisi tersebut. Tingginya prevalensi hipertensi ini menjadi ancaman bagi NHS sebab biaya kesehatan menjadi tinggi akibat pengobatan komplikasi hipertensi.
Berdasarkan pedoman hipertensi di Inggris, sebelum seseorang dinyatakan hipertensi dan harus mengkonsumsi obat-obatan maka sebaiknya dilakukan pengukuran tekanan darah selama 24 jam saat di rumah. Biasanya pengukuran tekanan darah dilakukan pada arteri di lengan dengan menggunakan spigmomanometer. Namun tim peneliti dari University College London mengungkapkan bahwa mengukur tekanan darah berdasarkan tekanan jantung dapat memberikan prediksi yang lebih baik. Alat untuk mengukur ini berupa sensor yang dipakai di pergelangan tangan dan dapat digunakan sepanjang hari.

Hindari Penggunaan Ketoconazol Oral !


Badan Keamanan Pangan dan Obat Amerika (US FDA) telah memberikan peringatan pada dokter agar tidak meresepkan obat ketoconazol oral sebagai terapi lini pertama untuk semua infeksi jamur kecuali kondisi kegawatdaruratan. Peringatan ini menyusul adanya laporan hepatotoksik berat, insufisiensi adrenal serta efek samping lain terkait penggunaan obat anti jamur terutama ketoconazol oral. Berdasarkan rekomendasi terakhir, Ketoconazol oral hanya diindikasikan untuk pengobatan endemik mikosis yang mengancam jiwa seperti chromomycosis, blastomycosis, histoplasmosis, coccidioidomycosis dan paracoccidioidomycosis. FDA telah mengeluarkan peringatan pada dokter yang memberikan resep Ketoconazol oral untuk dermatofit atau kandida. FDA menyatakan bahwa kontraindikasi pemberian Ketoconazol oral adalah pada pasien yang memiliki riwayat gangguan hati sebelumnya. Oleh karena itu pada pasien yang menerima obat Ketoconazol oral harus dilakukan pemantauan terhadap nilai Alanin Transaminase (ALT) secara berkala/mingguan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka saat ini European Medicines Agency (EMA) telah merekomendasikan penarikan Ketokonazol oral dari pasar Uni Eropa. EMA menyatakan bahwa risiko Ketokonazol terkait kerusakan hati secara signifikan lebih besar daripada manfaat pengobatan infeksi jamur.

MKEK Himbau PB IDI Perkuat Pendidikan Etika Kedokteran


Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof. Dr. Menaldi Rasmin, Sp.P (K), mengatakan Konsil Kedokteran Indonesia dalam dua tahun terakhir ini setidaknya menerima 126 pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan malpraktek serta disiplin dokter dan dokter gigi yang ada di seluruh daerah. Jumlah laporan tersebut Dari seluruh laporan yang masuk, sebanyak 46 persen kasus melibatkan dokter terhadap hukum.
Meningkatnya aduan malpraktek telah membuat Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) angkat bicara. Menurutnya hal tersebut harus dibaca secara komprehensif yaitu ada 92918 dokter yang punya Surat Tanda Registrasi (STR).  Berdasarkan data KKI yang diadukan sebanyak 126 dokter berarti sekitar 0,1 persen dari total populasi dari jumlah tersebut terbukti melanggar disiplin. Jika 46 persen dari yang diadukan berarti 0,05 persen dari total populasi sebagian besar dikarenakan komunikasi.
Jika melihat hal ini dengan sistem pelayanan yang masih fee for services maka keluhan ini masih dalam skala yang kecil  demikian pula dengan pelanggarannya.“Artinya sebagian besar dokter Indonesia masih orang-orang yang idealis, sekalipun dengan gaji yang rendah dan beban kerja yang berat mereka masih bekerja dengan baik,”kata Prijo.
MKEK tidak akan membuat pembinaan yang khusus untuk hal ini. Pada masa mendatang MKEK akan meminta setiap program BP2KB atau CME CPD harus disisipkan pembahasan mengenai etika, jika tidak SKPnya tidak boleh keluar,” kata Prijo.
Hal lain yang harus mendapat perhatian adalah masalah etika dan teknik komunikasi dalam pendidikan spesialis perlu diulang dan dicontohkan mengingat sebagian besar keluhan kepada Dokter Spesialis.
Menurut Prijo yang paling penting peran PB IDI harus bisa memaksa para pengelola kesehatan baik itu pemerintah atau swasta untuk melakukan sistem pelayanan kesehatan yang baik yaitu dengan sistem rujukan berjenjang dan mengedepankan upaya preventive serta promotip.
Takkalah penting adalah meng-advokasi anggaran kesehatan secara maksimal harus sesuai rekomendasi WHO serta kompensasi para dokter secara keseluruhan memadai sebagai-mana yang selama ini diharapkan. Sistem fee for services sekalipun anggaran kesehatannya tinggi seperti di USA  angka pengaduan pasien tetap tinggi dibanding di negara Skandinavia.
Selanjutnya, Prijo berharap agar PB IDI memperjuangkan subsidi pada pendidikan kedokteran sebab unit costnya sangat tinggi. Paling tidak mahasiswa hanya membayar 20 persen dari unit cost sehingga tidak akan ada moral hazard jika mereka kelak bekerja karena disubsidi pemerintah serta harus bersedia ditempatkan untuk waktu tertentu di suatu tempat yang membutuhkan.(indra/Donna)

Benarkah “Altruisme” Dokter Mulai Luntur?

Prof. Samsuridjal Djauzi
105 tahun lalu pergerakan para dokter untuk memperjuangkan hak rakyat Indonesia dimulai, kini setelah 105 tahun berlalu semangat perjuangan dokter mulai luntur seiring dengan perubahan jaman, lalu seperti apa sesungguhnya pengabdian para dokter saat ini, berikut adalah petikan wawancara dengan

Saat ini banyak orang menduga bahwa sikap pengabdian dokter yang selama ini lekat disandang oleh dokter mulai luntur oleh pengaruh jaman, menurut anda apakah dugaan tersebut benar dan seperti apa jiwa pengabdian dokter saat ini?

Dokter merupakan jabatan yang mulia. Dokter oleh masyarakat masih dianggap profesi yang mulia dan mengabdi pada masyarakat. Bukankah sumpah dokter menyatakan bahwa dokter akan menolong pasiennya tanpa memperhatikan status sosial, ras bahkan agama. Namun juga muncul kekecewaan terhadap dokter yang menyatakan bahwa dokter sudah semakin tipis rasa pengabdiannya. Masyarakat masih mengharapkan bahwa dokter sekarang masih serupa dengan dokter di zaman Belanda dulu, berkeliling kampung menolong masyarakat.
Sebenarnya bukan hanya bentuk pengabdian dokter yang berubah masyarakat sendiri juga sudah banyak mengalami perubahaan. jumlah dokter dulu hanya sedikit sekarang sudah mencapai sekitar 100.000 orang. Dulu jika dalam keadaan darurat pasien mendatangi rumah dokter sekarang tak perlu lagi karena tersedia layanan gawat darurat yang siap menolong pasien selama 24 jam.

Faktor-faktor apa saja dalam era yg semakin pragmatis ini yg mempengaruhi terkikisnya jiwa pengabdian dokter

Semangat pengabdian dokter tetap sama harus dipunyai oleh dokter zaman dulu maupun dokter sekarang. Namun bentuk pengabdian tersebut mungkin berubah. Dokter yang bersedia bekerja di daerah terpencil sudah merupakan salah satu bentuk pengabdian. Dokter zaman dulu gajinya mencukupi bahkan bisa punya rumah besar, tukang masak, tukang kebun dan sebagainya.
Dokter zaman sekarang harus berjuang untuk hidup terutama jika dia tinggal di kota besar. Baik untuk keperluan dapur, transportasi, pendidikan anak, dokter harus membayar sebagaimana warga lainnya. Jika dia berpraktek swasta maka di harus menyewa tempat praktek (yang tak murah) dan bahkan juga harus bayar pajak. Meski demikian sebagian besar dokter akan merelakan honornya jika pasien memang tidak mampu. Namun tak mungkin lagi pasien membayar sukarela karena dokter mempunyai pengeluaran setiap bulannya yang harus dibayarnya.
Pengabdian dokter sekarang disamping dapat dibandingkan dengan dokter zaman dulu juga dapat dibandingkan dengan dokter zaman sekarang. pasien yang berobat ke negara lain selalu bercerita dokternya ramah dan komunikatif. namun kalau sekiranya pasien tersebut tak mampu membayar mungkin keramahannya menjadi hilang bahkan bukan tak mungkin dokter tersebut tak mau menolong.

Bagaimanakah agar jiwa pengabdian dokter yang melekat tetap dapat dipertahankan dan tak mudah terkikis oleh perubahan jaman dan bagaimana agar pola pikir dokter muda saat ini bisa seperti dokter-dokter di jaman perjuangan dulu
Bagaimana meningkatkan pengabdian dokter ? Pada umumnya dokter yang masih muda mencontoh seniornya. Saya termasuk dokter yang mengalami perubahan zaman yang cepat. Saya lulus pada tahun 1969 pada waktu itu lulusan dokter dapat langsung diangkat menjadi dokter kabupaten (dokabu).
Di Kabupaten tersebut biasanya hanya ada seorang dokter sehingga dapat dimengerti pasiennya akan banyak sekali. Sehingga dokter tersebut tak akan kekurangan pendapatan.
Dokter sekarang baru lulus harus bekerja di puskesmas dan untuk mencapai jabatan dokter Kabupaten dia harus bertugas mungkin sepuluh tahun. Jika akan meneruskan menjadi dokter spesialis jalan juga tidak mulus. Harus ikut seleksi ujian masuk, tofel harus tinggi dan jangan lupa biaya pendidikan juga mahal.  saya rasa pengaruh biaya pendidikan yang tinggi ikut mempengaruhi sikap dokter

Apakah biaya pendidikan di fakultas kedokteran yang mahal berpengaruh terhadap orientasi pragmatis dokter dan kurangnya jiwa pengabdian dokter
Biaya pendidikan dokter yang mungkin ditanggung orang tua tentu harus dikembalikan dari uang praktek dokter tersebut. Namun dokter juga tak boleh terjerumus menjadi penjual jasa yang kurang memperhatikan rasa kemanusiaan. Meski pasien harus membayar namun pada keadaan tertentu pasien harus dibebaskan dari biaya.
Menjadi dokter mungkin tidak akan menjadikan seseorang kaya raya seperti pedagang. namun menjadi dokter juga menimbulkan kepuasan batin. Bagi dokter akan merupakan kebahagiaan melihat pasiennya yang sakit berat sekarang sudah dapat kembali ketengah keluarga dengan ceria.

Apakah perlu ada sistem pembayaran/gaji/remunerasi bagi dokter tertentu sehingga dokter tdk lagi mencari-cari bayaran dari psien dan secara penuh dokter bisa konsentrasi hanya mengabdi menolong pasiennya
Apakah remunerasi atau gaji yang cukup akan meningkatkan mutu layanan? Kalau kita perhatikan di beberapa negara tetangga yang menerapkan sistem pengajian dokter dengan baik, dokter tak perlu lagi mencari penghasilan tambahan karena pendapatannya sudah cukup dan terjamin.
Bagaimana dengan harapan masyarakat terhadap dokter yang menginginkan dokter memberikan layanan yang terbaik, teliti, trampil dan komunikatif. Di samping itu pasien juga berharap dokter dapat menjadi sahabat mereka dalam meningkatkan taraf kesehatan mereka. pasien yang peduli terhadap kesehatan merupakan pasien yang akan mudah diajak bekerjasama dalam mencapai taraf kesehatan yang baik. Dokter harus pandai menempatkan diri, jadilah sabahat pasien bukan musuh pasien. dengan jalinan persahabatan ini banyak masalah bersama dapat diselesaikan tanpa harus saling menyalahkan.

PB IDI ‘Motor Penggerak’ KJS DKI


Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) akan dimulai  Januari 2014 mendatang. Salah satu implementasinya program yang akan berjalan adalah Pemerintah DKI Jakarta dengan program Kartu Jaminan Sosial (KJS) nya. Untuk memperlancar jalannya program KJS, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini akan membuat program kerjasama dari semua pihak diantaranya PB IDI, PT Askes dan FKUI.
PB IDI sudah beberapa kali pertemuan dengan pemerintah DKI Jakarta dan PT Askes guna mengetahui sejauh mana perkembangan program tersebut. Bidang Pengembangan Sistem Pelayanan Kesehatan PB IDI,  Dr. Gatot Sutono, MPH mengharapkan agar program ini lebih cepat untuk melangkah ke suatu perjanjian kerjasama (MOU) serta ditandatangani agar kegiatan ini langsung berjalan. “Kalau sudah di setujui, maka tanggal 20 Mei itu akan ada tandatangan apakah nanti MOU atau Perjanjian Kerjasama  itu tergantung keputusannya dari Asisten III DKI Jakarta,”kata Gatot kepada IDI NEWS baru-baru ini di Jakarta.

Berniat Dirikan 'Peer Group' di IDI dan Mengadvokasi 'Stake holder' Kesehatan

DR. Dr. H. Eva Decroli, SpPD. KEMD. FINASIM
Di Rumah Sakit M Jamil Padang Dr. Eva Daecroli sudah cukup dikenal, sebab sejak tahun 1999 Beliau sudah menjabat sebagai staf Medik IImu Penyakit Dalam sampai sekarang. Lulus Dokter tahun 1986 dari Universitas Andalas Padang dan meneruskan ke jenjang spesialis Ilmu Penyakit Dalam (1999). Kemudian melanjutkan ke Sub Spesialis Endokrinologi Ilmu Penyakit Dalam (2007). Tidak lama kemudian tahun 2011 Beliau menyelesaikan S3-nya dalam Ilmu Endokrinologi.
Dalam kesehariannya Dr. Eva bertugas sebagai staf pengajar di strata 1 KD Unand khususnya Blok Endokrin Metabolik. Selain itu mengajar di mata kuliah Undang-Undang Praktek Kedokteran. Bahkan dirinya juga membimbing skripsi mahasiswa S1 Kedokteran, S1 Farmasi, S2 Farmasi Unand.
Dokter yang juga Ketua Program PPDS IPD FK Unand  ini bertugas sebagai pembimbing tesis PPDS IPD dan PPDS THT. dan pengujian nasional PPDS IPD serta  sebagai penguji ujian Doktor (S3) FK Unand.