
Realitanya, dokter harus bekerja keras melayani 'ledakan' pasien, sementara kesejahteraan dan nilai profesionalismenya diabaikan. Pemelihara kesehatan jumlah kunjungan pasien ke Puskesmas dan Rumah Sakit (RS) di DKI Jakarta setiap harinya bertambah 200-300 persen sejak awal Desember 2012 dengan rata-rata dokter melayani lebih dari 140 pasien.
JSN DAN KJS ADALAH program ideal, namun tanpa didukung perencangan matang, infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM), pastinya program laksana angan yang hanya mengorbankan pihak lain. Faktanya akhir Mei lalu, sebanyak 16 RS swasta menyatakan mundur dari program KJS lantaran pembayaran klaim bermasalah, meskipun kemudian rekonsiliasi dengan Pemprov DKI.
"Dokter pun harus bekerja lebih berat karena melayani pasien yang melonjak sampai lima kali lipat. Dokter dipaksa jadi 'buruh' sebagai konsekuensi administrasi RS yang ditentukan SJSN dan BJS,"kata Sekjend Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Web Warouw kepada IDI NEWS baru-baru ini di Jakarta.
Padahal bila ada pasien yang merasa dirugikan, entah tudingan mal praktik atau kerja lamban, maka yang selalu disalahkan adalah sosok dokter. Padahal mereka telah bekerja ekstra keras melayani pasien yang melebihi kapasitas maksimum kerja dokter, jadilah dokter sebatas 'tukang' yang tunduk pada sistem administrasi dan manajemen RS.
BKR pun sangat berkeberatan bila Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendukung sistem premi dimana terdapat komponen biaya dokter di dalamnya. Sejatinya gaji atau honorium dokter ditanggung dalam APBN/APBD dijadikan tolak ukur soal kesejahteraan dokter.
Tingginya biaya hidup di perkotaan atau daerah tertentu, beban ditanggung keluarga, peningkatan profesionalitas lewat seminar, workshop maupun pendidikan formal, sampai pengadaan biaya uji kompetensi dan izin praktik menjadi beban tersendiri bagi seorang dokter yang gajinya sangat minim.
Seperti dirasakan Dr. Aldi yang praktik di klinik 24 jam dipinggiran kota Jakarta, biaya hidup yang tidak sebanding dengan gaji pokok sangat memberatkan namun pada sisi lain itu semua harus dijalani sebagaimana pengabdian seorang dokter terhadap profesinya.
"Kesejahteraan saat ini khususnya gaji pokok dirasa masih minim, sehingga banyak yang nyambi di klinik, padahal dilihat dari banyaknya klinik 24 jam saja, Kami dihargai uang duduk Rp 50.000 - Rp 75.000. Tindakan itu belum termasuk biaya obat. Total kalo rame pasiennya bisa Take Home Pay Rp 300.000 - Rp 500.000/ 24 jam,"kata Aldi kepada IDI NEWS.
Dokter muda yang belum men-dapatkan asuransi kesehatan mengatakan terdapat juga beberapa klinik yang menyediakan 'fee' Rp 250.000 dapat makan siang, dengan jam kerja dari jam 8.00 WIB s.d jam 16.00 WIB dengan standar gaji di atas gaji non dokter.
Dirinya mengeluhkan ketimpa-ngan standar gaji antara dokter PNS dengan dokter swasta. Terdapat ketidakadilan tentang nominal pendapatan diantara keduanya, padahal jumlah pasien dan resiko yang ditangani sama. Apalagi nanti 2014, diterapkan BPJS dimana Dokter Umum akan diusahakan mendapat Rp 15 juta/bulan, sebaliknya bagaimana nasib dokter atau tenaga kesehatan yang bukan non PNS/Swasta?
Ditambahkan pemilik dan pengelola sebuah Klinik Bersalin Permata Hati di Lombok (NTB), Yeyen Thoriq bahwa. kesejahteraan para dokter sulit dinilai dari gaji. Kebanyakan dokter tidak mengandalkan gaji pokok yang diterima dari sebuah RS, baik sebagai PNS maupun karyawan swasta banyak diantara mereka mengambil pekerja tambahan dengan membuka klinik atau bagi PNS setelah kerja rutin mengambil tambahan di RS atau klinik swasta pada sore harinya.
Menurut Yeyen kesejahteraan dokter di daerah, khususnya di NTB dapat dianggap sudah mencukupi standar minimal walaupun tidak berlebihan. Begitu juga sebagian besar dokter yang bekerja di klinik miliknya kebanyakan bersifat honorarium atau bukan pekerja tetap. Mereka bekerja bersifat mencari tambahan dengan penghasilan dihitung berdasar jumlah kunjungan pasien.
Gaji minim dan hidup serba prihatin harus dijalani oleh para dokter, terutama yang tinggal di daerah dan pelosok, seperti yang dialami oleh Dr. Pertiwi (bukan nama sebenarnya-red) di Probolinggo yang harus tetap menjunjung tinggi pengabdian melayani masyarakat, sementara kehidupan keluarganya jauh dari hidup yang layak.
Sebagai tenaga medis di sebuah Puskesmas tentu imbalan diterima tak memadai untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dirinya pun memak-sakan membuka praktek di rumah pada malam hari meskipun sudah lelah.
Dr. Pertiwi sempat keberatan dengan besaran premi SJSN kesehatan sebesar Rp 15.500,- karena tidak memasukkan komponen dokter sebagai ujung tombak pelaksana program yang harus bekerja keras di lapangan.
Padahal biaya hidup di daerah justeru lebih berat dan kalaupun ada tambahan (kerja di klinik) hasilnya tidak seberapa.
Kondisi kehidupan Dr. Pertiwi termasuk masih lebih beruntung jika dibandingkan dengan para dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas di daerah pelosok, perdalaman dan perbatasan.
Gaji dokter PNS tentunya sudah jelas standarisasi nominalnya, sebaliknya bagi dokter di pelosok tidak mengenal rupiah. Transaksi pembayaran jerih pelayanan kesehatan masyarakat dilakukan melalui barter dengan sayur buah dan sejenisnya. Namun realita itu tidak mengurangi pengabdian mereka. Seperti yang terjadi di Atambua yang berbatasan dengan Timor Leste atau Sentani yang berbatasan dengan Papua Nugini.
Tidak ada komentar: